Kunci dari Allah (Cerita Inspiratif) #2



KUNCI DARI ALLAH


Oleh ; Eliza Olga Pramita


Aku masih meraba wajahnya di dinding kamarku, pada sela-sela atap yang berada di depan mataku. Posisiku saat itu mungkin sama seperti yang sebagian mahasiswa lain lakukan. Ya, mengikuti perkuliahan dengan rebahan. Hal yang sangat lumrah dilakukan mahasiswa dan siswa belakangan ini. Terkadang aku pun termasuk. Melamun sembari menunggu teman sekelasku mengisi kolom absen di grup WhatsApp.

“Assalamu’alaikum”
Tiba-tiba ucapan salam itu mengoyak lamunanku siang itu. Aku bergegas beranjak memindahkan kaki dari kamarku menuju pintu yang jaraknya tak sampai 5 meter. Aku lihat bayangan seorang lelaki dengan membawa tas genggam yang sudah Aku kenali fisiknya. Wajah lelaki itu sangat fasih diingatanku. Ternyata benar, dia adalah orang yang aku lamunkan sejenak tadi.
“Wa’alaikumussalam, loh Bapak sudah pulang?”. Sahutku memasang wajah kaget dan senang.
“Sudah, Kak. Wah ribet, banyak sekali yang harus dipenuhi persyaratan  untuk  bisa pulang kampung di masa pandemi ini”, kata Bapak sambil menyambut salim dariku. Bapak menatapku sejenak dan tak lama terukir senyum di bibirnya, aku juga ikut tersenyum. Bapak membawa barang bawaannya selama merantau dan segera membersihkan badan. Aku kembali melanjutkan bertegur sapa dengan perkuliahan yang belum usai tadi.

Maghrib menjelang. Bapak, Mamak, Aku dan kedua adikku menunggu waktu berbuka puasa. Akhirnya, alasan untuk membatalkan puasa datang, suara adzan terdengar dari masjid yang tak     jauh dari simpang dan disahuti kumandang adzan dari Masjid dan Mushala lainnya. Kami membatalkan puasa dengan santapan makanan yang telah disiapkan. Suasana Maghrib  itu begitu hangat, karena kali ini Bapak sudah bisa membersamai buka puasa dengan kami. Pada sela waktu makan itu, Bapak terus bercerita pengalamannya di Lampung. Cerita Bapak berhasil membuat kami memasang telinga dan berbagai wajah, sangat menarik tentunya. Namun ada sedikit guratan sedih di wajahnya kala itu.

“Bapak tidak membawa begitu banyak uang. Uangnya sudah terpakai untuk kebutuhan

Bapak di sana selama Bapak sudah tidak bekerja lagi”, kata Bapak Maghrib itu dan disambut dengan keheningan sesaat.
Adikku si bungsu menjawab, “Tidak apa, Pak. Terpenting sekarang kita bisa berkumpul di lebaran tahun ini.”
Bapak memahat rekahan senyum dari bibirnya dan begitu pula dengan Mamak. Kami pun menyegerakan makan untuk segera menunaikan shalat Maghrib.
***
Lebaran berlalu, beberapa minggu telah dilewati bersama Bapak di rumah. Aku terus belajar memasak dengan Bapak, mengasah kemampuanku dengan mencoba beberapa menu masakan yang juga dikuasai oleh Bapak. Siapa sangka, Bapak adalah laki-laki yang mahir bergulat dengan bumbu, rempah, wajan dan sejenisnya. Bukannya Mamak takmahir memasak, namun ketika Aku dan Bapak berada di rumah, memasak takmenjadi pekerjaan wajibnya. Aku tahu Mamak juga pasti lelah bekerja dari pagi sampai sore hari untuk mencari uang selama Bapak menunggu panggilan dari pekerjaannya.

Suatu pagi Adikku menunjukkan isi pesan grup WhatsApp-nya. Ternyata isinya adalah imbauan dari wali kelasnya untuk segera melunasi iuran SPP dari sekolahnya. Namun kebingungan ternyata langsung menyapa Adik. Adik menjadi sedikit gundah karena SPP sudah menunggak selama 3 bulan. Adik tak berani memberitahukan ini  kepada  Bapak  dan  Mamak. Dia tahu bahwa berita pahit ini akan menambah gejolak pikiran mereka. Aku yang adik percaya sebagai tempat persinggahan cerita. Aku bisu, bingung harus apa. Aku coba memberikan apa yang Aku bisa berikan. Senyum Aku rekahkan padanya agar dia kembali bersemangat.

Tetap saja, aku masih buntu. Pikiranku kacau, ku coba beranikan diri menceritakan hal itu kepada Bapak dan Mamak. Bapak dan Mamak beruhasa tampak tegar, aku tahu gerak- geriknya. Beberapa kali Aku, Bapak dan Mamak bertukar pikiran namun kami tak kunjung menyapa jalan keluarnya. Bapak masih belum menerima panggilan kerja, belum memiliki penghasilan sedangkan Mamak juga belum gajian. Jika sudah gajian pun uangnya tetap kurang untuk membayar iuran SPP Adikku. Aku coba bersahabat dengan pikiranku. Mencari solusi mengenai hal ini bukan hal yang mudah bagiku.

Awalnya aku hanya iseng suka mengunggah foto makanan hasil buatanku ke storymedia sosial. Ternyata unggahan itu mampu menarik perhatian banyak temanku. Mereka ingin mencicipi makananku. Ada beberapa temanku yang meminta untuk membuatkannya makanan,

seperti   cilok   yang   aku   buat   dan   super   pedas   atau   ku   sebut   dengan   'cilok              mercon',seblak, spaghetti, dan  sosis  telur.  Sembari  itu,    aku  juga  coba  membuat  esmamboatau    eslilinuntuk    anak-anak di lingkungan rumahku dengan berbagai varian rasa seperti jagung, alpukat, kacang hijau dan sirup. Satu batang es aku jual dengan harga Rp.1000.

Takbanyak memang, tapi sedikit demi sedikit uang terus terkumpul dari hasil jualan itu. Aku sangat bersyukur. Uang iuran SPP Adikku juga turut terbantu dengan uang itu. Alhamdulillah, sedikit penghasilan bisa terkumpul walau pandemi masih melanda.

Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya terjebak dalam ruang cobaan tanpa menyediakan kunci pembuka untuknya. Karena Allah mengatakan bahwa di setiap kesulitan pasti ada kemudahan dan sudah tugasku menjadi seorang hamba-Nya untuk mempercayai itu.
Latahzan,innallahamaana.

 Biodata Penulis 

Eliza Olga Pramita yang lahir di Sinaksak, Pematangsiantar pada tanggal 3 Desember 1999. Seorang mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Medan angkatan 2018. “Mengasah kreativitas sejak masa pandemi COVID-19 adalah waktu yang cukup baik  untuk  dimaksimalkan, maka dari itu tetaplah bersyukur dengan apa yang terjadi. Bisa jadi hal yang membuatmu sedih hari ini adalah suatu kebanggaan di masa yang akan datang.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI DAKWAH : Amanah Ikatan Janji

TAKBIR RAMADHAN #3