PAHLAWAN MUSLIM INDONESIA

 Pahlawan Muslim Indonesia 

Bismillah, Assalamu'alaykum sobat kece...

Dah lama tak bersua, kini mimin hadir untuk memberikan  pencerahan hihi, ga deh, informasi dikit mengnai pahlawan muslim Indonesia nihhh...

yuk yang pada kepo, kita ceki ceki dan baca uraian dibawah ya sob, semangat....

NYAI AHMAD DAHLAN ATAU SITI WALIDAH

1. Awal kehidupan Nyai Ahmad Dahlan

Nyai Ahmad Dahlan memiliki nama asli yaitu Siti Walidah. Ia lahir di Kauman Yogyakarta, 3 Januari 1872. Siti Walidah merupakan anak keempat dari KH Muhammad Fadhil, seorang ulama dan anggota dari kesultanan Yogyakarta. Dirinya menghabiskan masa kecil tumbuh di lingkungan keraton. Nyai Ahmad Dahlan bersekolah di rumah, dirinya mempelajari berbagai hal tentang Islam, baik itu membaca Al-Quran, belajar bahasa Arab dan membaca Al-Quran dalam naskah Jawi. Sejak kecil, ia dikenal berani dan pandai berbicara, sehingga menonjol di antara teman-temannya. Siti Walidah dijodohkan dan menikah dengan sepupunya sendiri yaitu Muhammad Darwis, nama kecil Ahmad Dahlan. Setelah menikah, Nyai Ahmad Dahlan mengikuti perjalanan suaminya dalam mengembangkan Muhammadiyah. Namun, gara-gara pandangan agama islam Ahmad Dahlan saat itu dianggap radikal oleh kelompok lain, maka pasangan ini kerap kali menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif.

2. Mendirikan Sopo Tresno dan Aisyiyah

Nyai Ahmad Dahlan dan suaminya mendirikan Sopo Tresno pada tahun 1914. Ia dan suaminya bergantian memimpin kelompok itu. Adapun tugas pasangan ini dalam kelompok ini adalah membaca Al-Quran dan mendiskusikan maknanya. Pasangan ini memperlambat kristenisasi di Jawa dengan adanya sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial dengan cara mengajarkan membaca dan menulis melalui pengajian Sopo Tresno.

Nyai Ahmad Dahlan bersama dengan suaminya membahas tentang peresmian Sopo Tresno sebagai organisasi perempuan. Nama organisasi ini pun berubah menjadi Aisyiyah, yang terinspirasi dari nama istri nabi Muhammad yaitu Aisyah. Selanjutnya kelompok ini diresmikan pada tanggal 22 April 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pemimpinnya, sebagai bagian dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, istri Ahmad Dahlan ini mendirikan sekolah-sekolah putri beserta asramanya. Dia berkhotbah tentang kawin paksa. Dia juga berkunjung ke cabang di seluruh pulau Jawa. Sekolah Aisyiyah sendiri tetap dipengaruhi oleh ideologi pendidikan dari Ahmad Dahlan yaitu Catur Pusat.

3. Meneruskan Perjuangan Sang Suami

Setelah sang suami meninggal pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan tetap aktif di organisasi yang dibuat bersama suaminya. Kemudian di tahun 1926 ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi tersebut. Hasilnya, banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung dalam Aisyiyah, dan cabang-cabang lainnya dibuka di seluruh pulau di Nusantara.

Sampai tahun 1934, Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah. Sebenarnya selama masa kependudukan Jepang organisasi ini dilarang oleh Militer Jepang di Jawa dan Madura. Kemudian Nyai Ahmad Dahlan bekerja di sekolah-sekolah dan menjaga siswanya dari paksaan menyembah matahari dan menyanyikan lagu Jepang.

4. Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Nyai Ahmad Dahlan wafat pada tanggal 31 Mei 1946 di Yogyakarta, dirinya disemayamkan di Masjid Kauman Yogyakarta. Pemakamannya turut dihadiri Sekretaris Negara bersama Menteri Agama mewakili pemerintah.

Kemudian pada tanggal 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinobatkan presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Surat keputusan Presiden.

LAKSAMANA MALAHAYATI

Laksamana Malahayati adalah Laksanama Laut pertama di Dunia ia merupakan salah satu diantara perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Nama aslinya Keumalahayati, putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Kakeknya merupakan putra  Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530-1539. Ayahnya adalah seorang laksamana, tak heran jika Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut.

Selain dari ayahnya, Malahayati mendapat pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu kelautan di Baital Makdis, (pusat pendidikan tentara Aceh). Disana Malahayati bertemu dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya. Dalam suatu perang melawan Portugis di Teluk Haru, armada Aceh sukses menghancurkan Portugis. Tetapi dalam pertempuran tersebut sekitar seribu orang Aceh gugur, termasuk Laksamana yang merupakan suami Malahayati.

Tak ingin bermuram durja atas gugurnya sang suami, Malahayati membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis. Dalam perkembangannya pasukannya tidak hanya terdiri dari para janda, tetapi gadis-gadis juga ikut bergabung. Armada ini dikenal dengan nama Inong Balee atau armada perempuan janda.  armanada yang Pangkalannya berada di Teluk Lamreh Krueng Raya ini memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang dilengkapi dengan meriam. Bahkan kapal paling besar dilengkapi lima meriam.

Dua kapal dagang Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman datang mengunjungi Aceh Pada Juni 1599. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sultan dengan upacara kebesaran dan perjamuan. Namun setelah itu timbul ketegangan dan konflik, hingga timbul peperangan melawan Belanda pada September 1599. Sejumlah orang Belanda terbunuh, termasuk Cornelis de Houtman yang dibunuh oleh panglima armada Inong Balee, Malahayati, dengan rencongnya.

tidak hanya seorang panglima perang, Malahayati juga seorang diplomat. Saat itu setelah pertempuran melawan armada Belanda, hubungan Aceh dan Belanda sempat tegang. Prins Maurits, yang memimpin Belanda saat itu berusaha memperbaiki hubungan. Maka dikirim utusan ke Aceh, dan Malahayati ditugaskan oleh Sultan untuk melakukan perundingan-perundingan awal dengan utusan Belanda, hingga tercapai sejumlah persetujuan.

Atas keberaniannya Malahayati mendapat gelar laksamana hingga ia lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Namanya kemudian dikenang di berbagai tempat, diantaranya digunakan sebagai nama salah satu kapal perang Republik Indonesia, KRI Malahayati. 

 

KH. HASYIM ASY’ARI

KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri. Sementara dari jalur ibu adalah Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI). Penyebutan pertama menunjuk pada silsilah keturunan dari jalur bapak, sedangkan yang kedua dari jalur ibu.

Ditilik dari dua silsilah diatas, Kiai Hasyim mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri). Sementara dari jalur ibu, masih keturunan langsung Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng) yang berlatar belakang bangsawan Hindu Jawa.

Kiai Hasyim dilahirkan dari pasangan Kiai Asy’ari dan Halimah pada hari Selasa kliwon tanggal 14 Februari tahun 1871 M atau bertepatan dengan 12 Dzulqa’dah tahun 1287 H. Tempat kelahiran beliau berada disekitar 2 kilometer ke arah utara dari kota Jombang, tepatnya di Pesantren Gedang. Gedang sendiri merupakan salah satu dusun yang terletak di desa Tambakrejo kecamatan Jombang.

 

Sejak masa kanak-kanak, Kiai Hasyim hidup dalam lingkungan Pesantren Muslim tradisional Gedang. Keluarga besarnya bukan saja pengelola pesantren, tetapi juga pendiri pesantren yang masih cukup populer hingga saat ini. Ayah Kiai Hasyim (Kiai Asy’ari) merupakan pendiri Pesantren Keras (Jombang). Sedangkan kakeknya dari jalur ibu (Kiai Utsman) dikenal sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Gedang yang pernah menjadi pusat perhatian terutama dari santri-santri Jawa pada akhir abad ke-19. Sementara kakek ibunya yang bernama Kiai Sihah dikenal luas sebagai pendiri dan pengasuh Pesantren Tambak Beras Jombang.

Pada umur lima tahun Kiai Hasyim berpindah dari Gedang ke desa Keras, sebuah desa di sebelah selatan kota Jombang karena mengikuti ayah dan ibunya yang sedang membangun pesantren baru. Di sini, Kiai Hasyim menghabiskan masa kecilnya hingga berumur 15 tahun, sebelum akhirnya, meninggalkan keras dan menjelajahi berbagai pesantren ternama saat itu hingga ke Makkah.

Pada usianya yang ke-21, Kiai Hasyim menikah dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya’qub (Siwalan Panji, Sidoarjo). Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Makkah guna menunaikan ibadah haji. Bersama istrinya, Nafisah, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah menninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah. Empat puluh hari kemudian, Abdullah menyusul ibu ke alam baka. Kematian dua orang yang sangat dicintainya itu, membuat Kiai Hasyim sangat terpukul. Kiai Hasyim akhirnya memutuskan tidak berlama-lama di Tanah Suci dan kembali ke Indonesia setahun kemudian.

Setelah lama menduda, Kiai Hasyim menikah lagi dengan seorang gadis anak Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri) bernama Khadijah. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, Kiai Hasyim menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan Kiai Hasyim dengan Nafiqah juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, Kiai Hasyim memutuskan menikah lagi dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari hasil perkawinan keempatnya ini, Kiai Hasyim memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub. Perkawinan dengan Masrurah ini merupakan perkawinan terakhir bagi Kiai Hsyim hingga akhir hayatnya.

Riwayat Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Kiai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”           

Karena berlatar belakang keluarga pesantren, Kiai Hasyim secara serius di didik dan dibimbing mendalami pengetahuan islam oleh ayahnya sendiri dalam jangka yang cukup lama mulai dari anak-anak hingga berumur lima belas tahun. Melalu ayahnya, Kiai Hasyim mulai mengenal dan mendalami Tauhid, Tafsir, Hadith, Bahasa Arab dan bidang kajian islam lainnya. Dalam bimbingan ayahnya, kecerdasan Kiai Hasyim cukup menonjol. Belum genap berumur 13 tahun, Kiai Hasyim telah mampu menguasai berbagai bidang kajian islam dan dipercaya membantu ayahnya mengajar santri yang lebih senior.

Belum puas atas pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, Kiai Hasyim mulai menjelajahi beberapa pesantren. Mula-mula, Kiai Hasyim belajar di pesantren Wonokoyo (Probolinggo), lalu berpindah ke pesantren Langitan (Tuban). Merasa belum cukup, Kiai Hasyim melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Tenggilis (Surabaya), dan kemudian berpindah ke Pesantren Kademangan (Bangkalan), yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil. Setelah dari pesantren Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjutkan di pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kiai Ya’kub dipandang sebagai dua tokoh penting yang berkontribusi membentuk kapasitas intelektual Kiai Hasyim. Selama tiga tahun Kiai Hasyim mendalami berbagai bidang kajian islam, terutama tata bahasa arab, sastra, fiqh dan tasawuf kepada KiaivKholil. Sementara, di bawah bimbingan Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim berhasil mendalami Tauhid, fiqh, Adab, Tafsie dan Hadith.

Atas nasihat Kiai Ya’kub, Kiai Hasyim akhirnya meninggalkan tanah air untuk berguru pada ulama-ulama terkenal di Makkah sambal menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Di Makkah, Kiai Hasyim berguru pada syaikh Ahmad Amin al-Attar, Sayyid Sultan bin  Hashim, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Syaikh Sa’id al-Yamani, Sayyid Alawi bin Ahmad al-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Syaikh Salih Bafadal, dan Syaikh Sultan Hasim Dagastana, Syaikh Shuayb bin Abd al-Rahman, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Rahmatullah, Sayyid Alwi al-Saqqaf, Sayyid Abu Bakr Shata al-Dimyati, dan Sayyid Husayn al-Habshi yang saat itu menjadi multi di Makkah. Selain itu, Kiai Hasyim juga menimba pengetahuan dari Syaikh Ahmad Khatib Minankabawi, Syaikh Nawawi al-Bnatani dan Syaikh Mahfuz al-Tirmisi. Tiga nama yang disebut terakhir (Khatib, Nawawi dan Mahfuz) adalah guru besar di Makkah saat itu yang juga memberikan pengaruh signifikan dalam pembentukan intelektual Kiai Hasyim di masa selanjutnya.

Presatasi belajar Kiai Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga mmperoleh kepercaaan untuk mengajar di Masjid al-Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara tercatat pernah belajar kepadanya. Di antaranya ialah Syaikh Sa’d  Allah al-Maymani (mufti di Bombay, India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadith di Makkah), al-Shihan Ahmad bin Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhanb Chasbullah (Tambakberas, Jombang), K. H. R Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Saleh (Tayu).

Seperti disinggung di atas, Kiai Hasyim pernah mendapatkan bimbingan langsung dari Syaikh Khatib al-Minankabawi dan mengikuti halaqah-halaqah yang di gelar oleh gurunya tersebut. Beberapa sisi tertentu dari pandangan Kiai Hasyim, khususnya mengenai tarekat, diduga kuat juga dipengaruhi oleh pemikiran kritisnya gurunya itu, meskipun pada sisi yang lain Kiai Hasyim berbeda dengannya. Dialektika intelektual antara guru dan murid (Syaikh Khatib Kiai Hasyim) ini sangat menarik.

Sejak masih di Makkah, Kiai Hasyim sudah memiliki ketertarikan tersendiri dengan tarekat. Bahkan , Kiai Hasyim juga sempat mempelajari dan mendapat ijazah tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah melalui salah melalui salah satu gurunya (Syaikh Mahfuz).

Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari

1.      At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan

2.      Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

3.      Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah

4.      Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama

5.      Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi

6.      Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI DAKWAH : Amanah Ikatan Janji

TAKBIR RAMADHAN #3